Kamis, 02 Februari 2012

Berbagai catatan tentang sikap sabar, ikhlas, tawakal dan syukur


Berbagai catatan tentang sikap sabar, ikhlas,
tawakal dan syukur
Sabar (dalam menghadapi segala ujian-Nya)
»
Seperti diuraikan di atas, bahwa tiap manusia tiap saatnya pasti mendapat ujian-Nya, dan tidak seseorang manusiapun yang tidak menghadapinya (dari orang cacat sampai orang normal; dari fakir miskin sampai konglomerat; dari para nabi-Nya sampai manusia biasa; dari orang pintar sampai orang bodoh; dari berusia anak-anak sampai lansia; dsb).

Sedangkan ujian-Nya itu sendiri suatu kehendak-Nya, agar bisa diketahui-Nya, "siapa di antara umat manusia yang beriman".
Wujud dari ujian-Nya itu pada dasarnya berupa perbedaan antara berbagai keinginan batiniah, terhadap berbagai aspek lahiriahnya yang bisa terwujud. Padahal kekuasaan tiap manusia untuk bisa mengatur segala aspek lahiriahnya justru relatif sangat terbatas. Di lain pihaknya, tiap manusia memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur keinginan batiniahnya, agar jurang perbedaan itu juga bisa menjadi berkurang. Usaha dalam mengatur keinginan batiniah ruh inilah wujud dari suatu 'kesabaran'.
Maka secara batiniah, tidak bisa dikatakan bahwa si fakir miskin hidupnya jauh lebih susah daripada si konglomerat. Bahkan si konglomerat memiliki suatu amanat (tanggung-jawab) dan resiko batiniah yang justru relatif lebih tinggi, atas kelebihan hartanya itu (tanggung-jawab pada perolehan dan pemakaian hartanya).
Dan nilai amalan sebenarnya bukan ditentukan dari 'hasil usaha dan kemampuan' lahiriah, tetapi justru dari 'proses berusahanya' yang dalam prosesnya justru diliputi oleh cobaan atau ujian-Nya.

Si fakir miskin dan si konglomerat juga pasti sama-sama diberi-Nya kesempatan, untuk mendapat pahala-Nya yang paling baik pada alam akhiratnya (Surga), dan sebaliknya keduanya bisa pula sama-sama mendapat Neraka.
Maka 'tidaklah semestinya' ada manusia yang merasa perlu lebih dikasihani daripada orang-lainnya, dalam menjalani kehidupan di dunia, semua justru menghadapi persoalannya masing-masing, yang berbeda hanya sudut pandang tiap manusianya yang relatif sangat subyektif. Padahal semua manusia justru 'sama' di mata Allah. Dan kemuliaan atau nilai dari tiap manusia di mata Allah, justru hanya tergantung kepada segala amal-perbuatannya.
Banyak disebut dalam ayat-ayat Al-Qur'an, tentang anjuran-Nya dan keutamaan dalam bersabar. Bahkan orang-orang yang paling bersabar, adalah orang-orang yang paling kuat dan tahan banting (secara batiniah), di antara seluruh umat manusia, karena mereka itu relatif paling mampu menghadapi berbagai ujian-Nya.
Ikhlas (menerima apa adanya segala kehendak-Nya)
»
Beberapa ayat di dalam Al-Qur'an, disebutkan "agar umat Islam berlaku ikhlas dalam beragama". Sedangkan pada topik "Kitab-kitab tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)" dan pada "Gambar 33: Diagram hubungan Fitrah Allah dan agama Islam", cukup jelas diuraikan hubungan antara agama-Nya dan kehendak-Nya dalam penciptaan seluruh alam semesta ini, melalui aturan-Nya (sunatullah).
Bahwa segala kejadian yang terjadi pada segala zat ciptaan-Nya (termasuk manusia), justru pasti mengikuti sunatullah, walaupun kejadian itu belum tentu berdasar keredhaan-Nya, sebagai wujud dari diberikan-Nya kebebasan kepada taip umat manusia dalam menentukan pilihan jalan hidupnya (ke arah baik ataupun buruk). Termasuk wujud dari saling bercampur-baurnya berbagai 'jalan hidup' dari segala zat ciptaan-Nya di alam semesta. Di samping sunatullah itu sendiri yang memang amat sangat luas aspeknya,

Baca pula uraian-uraian di atas, tentang kaitan antara jalan hidup setiap manusia dan sunatullah.
Maka semakin luas aspek yang sulit diperkirakan dan dipahami, dengan pengetahuan pada tiap manusia.
Selain memang tidak ada kekuasaan manusia sama-sekali, dalam memahami segala aturan atau rumus proses kejadian di seluruh alam semesta (sunatullah), juga ada keterbatasan manusia dalam memahami keterkaitan hubungan antar sunatullah, yang berlaku atas masing-masing zat ciptaan-Nya.

Sedang manusia justru hanya bisa 'memilih' sunatullah (secara sadar ataupun tidak), yang diinginkannya yang memang tersedia baginya tiap saatnya, sesuai keadaan dan kemampuannya.
Maka tiap manusia mestinya bisa bersikap ikhlas (menerima apa adanya), atas segala kehendak-Nya di alam semesta ini (melalui sunatullah, bersifat 'memaksa') ataupun atas segala perintah-Nya di dalam ajaran-ajaran agama-Nya (bersifat 'tidak-memaksa').

Misalnya, jika orang-orang yang dicintai meninggal dunia, maka tidak ada alasan bagi seorang manusia, untuk terlalu larut dalam kesedihan. Ia semestinya juga bisa mengikhlaskan kepergiannya, karena segala sesuatu halnya justru memang merupakan bagian dari kehendak-Nya ("tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mati").
Selain itu, keikhlasan amatlah dibutuhkan ketika nafsu-keinginan relatif sulit terpenuhi, karena keikhlasan adalah obat yang sangat ampuh terhadap nafsu yang tidak terpenuhi ataupun berlebihan, yang justru paling sering dipakai oleh iblis dan syaitan untuk bisa menyesatkan tiap manusia (bentuk ujian-Nya secara batiniah).

Baca pula topik
 "Makhluk hidup gaib", tentang orang-orang Mukhlis, yang tidak mudah tersesatkan oleh iblis.
Bahkan dalam keadaan yang idealnya, keikhlasan yang sempurna justru bisa menghilangkan hampir sebagian besar dari persoalan manusia, yang pada umumnya memang hanya berasal dari nafsu-keinginan yang relatif berlebihan, dan telah terlalu diperturutkan (menentang kehendak-Nya ataupun perintah-Nya).
Tawakal (berserah-diri kepada-Nya)
»
Secara sederhananya, segala 'keadaan akhir' pasti bisa diketahui, jika segala 'keadaan awal' sebagai masukan bisa diketahui pula, sebelum mulai berlakunya suatu sunatullah. Keadaan awal itulah yang bisa dipilih dan diusahakan oleh tiap manusia (melalui tiap amal-perbuatannya), sesuai pengetahuan dan kemampuannya.
Persoalannya tiap manusia pada umumnya tidak bisa mengetahui berbagai 'keadaan awal' manakah yang memiliki 'keadaan akhir' terbaik sesuai harapannya (selain 'keadaan awal' dari pengaruh lingkungan). Walau ajaran agama telah memberi tuntunan-Nya secara garis besar, bahwa tiap usaha manusia untuk mensucikan 'keadaan batiniah' ruhnya, justru paling penting dan hakiki.
Maka sudah semestinya, jika tiap manusia tetaplah berserah-diri kepada-Nya (bertawakal), ataupun menyerahkan hasil akhir atas segala urusannya kepada kehendak-Nya, karena amatlah terbatas sunatullah dengan segala aspeknya (lahiriah dan batiniah), yang bisa dipahami dan dimanfaatkan oleh tiap umat manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya sekalipun).
Hal itu juga bisa menjelaskan tentang, Allah Yang pasti "selalu" menyertai setiap perbuatan manusia, melalui sunatullah (dikawal para malaikat). Serta pasti hanyalah Allah, Yang menyelesaikan segala urusan atau amal-perbuatan manusia (walau belum tentu sesuai dengan keredhaan-Nya baginya).
Misalnya "Allah memberinya rejeki-Nya" dan "manusia mencari rejeki-Nya", adalah kalimat yang sama-sama benar, dan di dalam sesuatu proses yang sama. Perbedaannya hanyalah pada manusia yang memulai, tetapi Allah, Yang menyelesaikan. Juga kalimat "Pelaut itu menundukkan lautan" dan "Allah Yang menundukkan lautan baginya", adalah sesuatu proses yang sama, demikian pula halnya dengan segala perbuatan manusia lainnya.
Namun penting diketahui pula, bahwa Allah pasti Maha adil atau pasti setimpal di dalam menyelesaikan ataupun mewujudkan tiap perbuatan manusia (atau pasti sesuai dengan hal-hal yang telah diusahakan oleh manusianya), sekaligus untuk bisa memberikan balasan-Nya tiap saatnya, selama perbuatan itu sedang dilakukan sampai selesai.

Dan balasan-Nya yang paling utama justru bersifat batiniah, dan sesuai dengan 'proses berusahanya', bukan 'hasil usahanya'.
Syukur (menerima segala pemberian-Nya)
»
Relatif jelas dari uraian-uraian di atas, bahwa segala hasil akhir usaha manusia, adalah hasil pemberian Allah melalui sunatullah, sebagai suatu balasan-Nya (seperti: karunia, rahmat, rejeki, azab, dosa-siksa, pahala-nikmat, hikmah dan hidayah, dsb), yang pasti setimpal dengan tiap usaha atau amal-perbuatan manusianya.

Walau sebagian dari pemberian atau balasan-Nya justru memang belum tentu sesuai keredhaan-Nya bagi manusia.
'Setimpal' itu tentunya menurut penilaian Allah, karena manusia relatif amat subyektif menilai segala sesuatu hal, termasuk relatif amat sulit bisa memahami segala aspek ujian-Nya atas tiap amal-perbuatannya sendiri. Sehingga misalnya, suatu amal-perbuatan yang sama, tetapi hasilnya bisa berbeda bagi tiap manusia (secara lahiriah dan batiniah).

Dari contoh orang biasa dan orang kaya yang bersedekah dalam uraian di atas, maka maksud dari "setimpal" itu juga lebih terkait dengan hal-hal yang bersifat batiniah (jumlah pahala-Nya dan beban dosa).
Tiap manusia semestinya bersyukur atas segala pemberian Allah baginya, apapun bentuknya (langsung ataupun tertunda, lahiriah-nyata ataupun batiniah-gaib), karena Allah Maha mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, khususnya bagi kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya).
Bahkan orang yang paling banyak bersyukur adalah, orang-orang yang paling kaya secara batiniah di antara seluruh umat manusia, karena mereka selalu merasa bercukupan, atas apapun yang telah diberikan-Nya kepadanya.

Relatif jelas tampak dari masing-masing uraian di atas, bahwa sikap-sikap sabar, ikhlas, tawakal dan syukur justru amat saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Semuanya juga bisa amat menolong atau membantu tiap manusia, dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini, terutama lagi dalam membangun kehidupan akhiratnya (kehidupan batiniah ruhnya).

Ada sebuah kepercayaan yang beredar luas di masyarakat secara turun temurun


Ada sebuah kepercayaan yang beredar luas di masyarakat secara turun temurun, bahwa yang menilai diri kita itu adalah orang lain. Tepat, kualitas seseorang hanya bisa dinilai oleh orang lain. Bagaimana kita bertindak setiap hari, memperlakukan orang di sekitar, menanggapi orang lain, semuanya dinilai oleh orang lain. Jangankan prilaku, tata cara kita berbicara, kemampuan kita menyampaikan apa yang kita rasakan, semuanya menjadi satu media penilai bagi orang lain.
Nah selanjutnya, jika nilai kita bagus maka apa yang akan kita dapatkan? Jawabannya adalah perhatian dari orang lain. Orang-orang biasanya tertarik memperhatikan orang dengan kualitas ekstrem, ekstrem jahatnya dan juga ekstrem baiknya. Hal ini menjadi dasar bagi mereka untuk menentukan penilaiannya terhadap kualitas diri kita, yang nantinya sangat berpengaruh terhadap hubungan di kemudian hari. Jika diri kita dinilai baik, maka secara tidak langsung orang-orang akan berbahagia berada di dekat kita. Kita memperlakukan mereka dengan baik, mereka juga akan memperlakukan kita dengan cara yang sama dan itulah yang disebut dengan hubungan harmonis, hubungan yang saling menghargai satu sama lain.
Nah, kemudian pernahkah anda berpikir bahwa kualitas diri kita bisa dilihat dari seberapa harmonis hubungan kitadengan sesama? Jika dilihat secara menyeluruh, hubungan yang harmonis baru bisa tercipta jika manusia-manusia pembentuknya sehati dan saling menyayangi. Lihat saja sebuah keluarga harmonis, antara ayah, ibu serta anak-anaknya ada keterikatan yang erat, saling menyayangi dan mempunyai pandangan yang hampir sama akan sesuatu. Mereka sehati.
Atau hubungan dengan teman-teman. Semakin banyak kita punya teman baik, maka semakin banyak orang yang menyukai kita. Itu artinya diri kita baik, kualitas kita memadai untuk membuat sebuah hubungan sempurna dengan orang lain.
Nah,untuk itu jika anda ingin mengetahui sebaik apa anda menjadi orang, sebagus apa kualitas diri anda, maka anda bisa melihat dari berapa hubungan harmonis yang anda jalin dengan orang lain. Semakin banyak, berarti anda orang yang berkualitas dan itu patut ditingkatkan. Begitu juga sebaliknya. Anda bisa bercermin hubungan itu untuk memperbaiki diri sendiri.