Berbagai catatan
tentang sikap sabar, ikhlas,
tawakal dan syukur |
|
•
|
Sabar (dalam
menghadapi segala ujian-Nya)
|
»
|
Seperti diuraikan di atas, bahwa tiap manusia tiap saatnya
pasti mendapat ujian-Nya, dan tidak seseorang manusiapun yang tidak
menghadapinya (dari orang cacat sampai orang normal; dari fakir miskin sampai
konglomerat; dari para nabi-Nya sampai manusia biasa; dari orang pintar
sampai orang bodoh; dari berusia anak-anak sampai lansia; dsb).
Sedangkan ujian-Nya itu sendiri suatu kehendak-Nya, agar bisa diketahui-Nya, "siapa di antara umat manusia yang beriman".
Wujud dari ujian-Nya itu pada dasarnya berupa perbedaan antara
berbagai keinginan batiniah, terhadap berbagai aspek lahiriahnya yang bisa
terwujud. Padahal kekuasaan tiap manusia untuk bisa mengatur segala aspek
lahiriahnya justru relatif sangat terbatas. Di lain pihaknya, tiap manusia
memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur keinginan batiniahnya, agar
jurang perbedaan itu juga bisa menjadi berkurang. Usaha dalam mengatur
keinginan batiniah ruh inilah wujud dari suatu 'kesabaran'.
Maka secara batiniah, tidak bisa dikatakan bahwa si fakir
miskin hidupnya jauh lebih susah daripada si konglomerat. Bahkan si
konglomerat memiliki suatu amanat (tanggung-jawab) dan resiko batiniah yang
justru relatif lebih tinggi, atas kelebihan hartanya itu (tanggung-jawab pada
perolehan dan pemakaian hartanya).
Dan nilai amalan sebenarnya bukan ditentukan dari 'hasil usaha
dan kemampuan' lahiriah, tetapi justru dari 'proses berusahanya' yang dalam
prosesnya justru diliputi oleh cobaan atau ujian-Nya.
Si fakir miskin dan si konglomerat juga pasti sama-sama diberi-Nya kesempatan, untuk mendapat pahala-Nya yang paling baik pada alam akhiratnya (Surga), dan sebaliknya keduanya bisa pula sama-sama mendapat Neraka.
Maka 'tidaklah semestinya' ada manusia yang merasa perlu lebih
dikasihani daripada orang-lainnya, dalam menjalani kehidupan di dunia, semua
justru menghadapi persoalannya masing-masing, yang berbeda hanya sudut
pandang tiap manusianya yang relatif sangat subyektif. Padahal semua manusia
justru 'sama' di mata Allah. Dan kemuliaan atau nilai dari tiap manusia di
mata Allah, justru hanya tergantung kepada segala amal-perbuatannya.
Banyak disebut dalam ayat-ayat Al-Qur'an, tentang anjuran-Nya
dan keutamaan dalam bersabar. Bahkan orang-orang yang paling bersabar, adalah
orang-orang yang paling kuat dan tahan banting (secara batiniah), di antara
seluruh umat manusia, karena mereka itu relatif paling mampu menghadapi
berbagai ujian-Nya.
|
•
|
Ikhlas (menerima apa
adanya segala kehendak-Nya)
|
»
|
Beberapa ayat di dalam Al-Qur'an, disebutkan "agar umat
Islam berlaku ikhlas dalam beragama". Sedangkan pada topik "Kitab-kitab tuntunan-Nya (kitab-kitab
tauhid)" dan pada "Gambar 33: Diagram hubungan Fitrah Allah dan agama Islam", cukup jelas diuraikan hubungan
antara agama-Nya dan kehendak-Nya dalam penciptaan seluruh alam semesta ini,
melalui aturan-Nya (sunatullah).
Bahwa segala kejadian yang terjadi pada segala zat ciptaan-Nya
(termasuk manusia), justru pasti mengikuti sunatullah, walaupun kejadian itu
belum tentu berdasar keredhaan-Nya, sebagai wujud dari diberikan-Nya
kebebasan kepada taip umat manusia dalam menentukan pilihan jalan hidupnya
(ke arah baik ataupun buruk). Termasuk wujud dari saling bercampur-baurnya
berbagai 'jalan hidup' dari segala zat ciptaan-Nya di alam semesta. Di
samping sunatullah itu sendiri yang memang amat sangat luas aspeknya,
Baca pula uraian-uraian di atas, tentang kaitan antara jalan hidup setiap manusia dan sunatullah.
Maka semakin luas aspek yang sulit diperkirakan dan dipahami,
dengan pengetahuan pada tiap manusia.
Selain memang tidak ada kekuasaan manusia sama-sekali, dalam
memahami segala aturan atau rumus proses kejadian di seluruh alam semesta
(sunatullah), juga ada keterbatasan manusia dalam memahami keterkaitan
hubungan antar sunatullah, yang berlaku atas masing-masing zat ciptaan-Nya.
Sedang manusia justru hanya bisa 'memilih' sunatullah (secara sadar ataupun tidak), yang diinginkannya yang memang tersedia baginya tiap saatnya, sesuai keadaan dan kemampuannya.
Maka tiap manusia mestinya bisa bersikap ikhlas (menerima apa
adanya), atas segala kehendak-Nya di alam semesta ini (melalui sunatullah,
bersifat 'memaksa') ataupun atas segala perintah-Nya di dalam ajaran-ajaran
agama-Nya (bersifat 'tidak-memaksa').
Misalnya, jika orang-orang yang dicintai meninggal dunia, maka tidak ada alasan bagi seorang manusia, untuk terlalu larut dalam kesedihan. Ia semestinya juga bisa mengikhlaskan kepergiannya, karena segala sesuatu halnya justru memang merupakan bagian dari kehendak-Nya ("tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mati").
Selain itu, keikhlasan amatlah dibutuhkan ketika
nafsu-keinginan relatif sulit terpenuhi, karena keikhlasan adalah obat yang
sangat ampuh terhadap nafsu yang tidak terpenuhi ataupun berlebihan, yang
justru paling sering dipakai oleh iblis dan syaitan untuk bisa menyesatkan
tiap manusia (bentuk ujian-Nya secara batiniah).
Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang orang-orang Mukhlis, yang tidak mudah tersesatkan oleh iblis.
Bahkan dalam keadaan yang idealnya, keikhlasan yang sempurna
justru bisa menghilangkan hampir sebagian besar dari persoalan manusia, yang
pada umumnya memang hanya berasal dari nafsu-keinginan yang relatif
berlebihan, dan telah terlalu diperturutkan (menentang kehendak-Nya ataupun
perintah-Nya).
|
•
|
Tawakal
(berserah-diri kepada-Nya)
|
»
|
Secara sederhananya, segala 'keadaan akhir' pasti bisa
diketahui, jika segala 'keadaan awal' sebagai masukan bisa diketahui pula,
sebelum mulai berlakunya suatu sunatullah. Keadaan awal itulah yang bisa
dipilih dan diusahakan oleh tiap manusia (melalui tiap amal-perbuatannya),
sesuai pengetahuan dan kemampuannya.
Persoalannya tiap manusia pada umumnya tidak bisa mengetahui
berbagai 'keadaan awal' manakah yang memiliki 'keadaan akhir' terbaik sesuai
harapannya (selain 'keadaan awal' dari pengaruh lingkungan). Walau ajaran
agama telah memberi tuntunan-Nya secara garis besar, bahwa tiap usaha manusia
untuk mensucikan 'keadaan batiniah' ruhnya, justru paling penting dan hakiki.
Maka sudah semestinya, jika tiap manusia tetaplah
berserah-diri kepada-Nya (bertawakal), ataupun menyerahkan hasil akhir atas
segala urusannya kepada kehendak-Nya, karena amatlah terbatas sunatullah
dengan segala aspeknya (lahiriah dan batiniah), yang bisa dipahami dan
dimanfaatkan oleh tiap umat manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya
sekalipun).
Hal itu juga bisa menjelaskan tentang, Allah Yang pasti
"selalu" menyertai setiap perbuatan manusia, melalui sunatullah
(dikawal para malaikat). Serta pasti hanyalah Allah, Yang menyelesaikan
segala urusan atau amal-perbuatan manusia (walau belum tentu sesuai dengan
keredhaan-Nya baginya).
Misalnya "Allah memberinya rejeki-Nya" dan
"manusia mencari rejeki-Nya", adalah kalimat yang sama-sama benar,
dan di dalam sesuatu proses yang sama. Perbedaannya hanyalah pada manusia
yang memulai, tetapi Allah, Yang menyelesaikan. Juga kalimat "Pelaut itu
menundukkan lautan" dan "Allah Yang menundukkan lautan
baginya", adalah sesuatu proses yang sama, demikian pula halnya dengan
segala perbuatan manusia lainnya.
Namun penting diketahui pula, bahwa Allah pasti Maha adil atau
pasti setimpal di dalam menyelesaikan ataupun mewujudkan tiap perbuatan
manusia (atau pasti sesuai dengan hal-hal yang telah diusahakan oleh
manusianya), sekaligus untuk bisa memberikan balasan-Nya tiap saatnya, selama
perbuatan itu sedang dilakukan sampai selesai.
Dan balasan-Nya yang paling utama justru bersifat batiniah, dan sesuai dengan 'proses berusahanya', bukan 'hasil usahanya'. |
•
|
Syukur (menerima
segala pemberian-Nya)
|
»
|
Relatif jelas dari uraian-uraian di atas, bahwa segala hasil
akhir usaha manusia, adalah hasil pemberian Allah melalui sunatullah, sebagai
suatu balasan-Nya (seperti: karunia, rahmat, rejeki, azab, dosa-siksa,
pahala-nikmat, hikmah dan hidayah, dsb), yang pasti setimpal dengan tiap
usaha atau amal-perbuatan manusianya.
Walau sebagian dari pemberian atau balasan-Nya justru memang belum tentu sesuai keredhaan-Nya bagi manusia.
'Setimpal' itu tentunya menurut penilaian Allah, karena
manusia relatif amat subyektif menilai segala sesuatu hal, termasuk relatif
amat sulit bisa memahami segala aspek ujian-Nya atas tiap amal-perbuatannya
sendiri. Sehingga misalnya, suatu amal-perbuatan yang sama, tetapi hasilnya
bisa berbeda bagi tiap manusia (secara lahiriah dan batiniah).
Dari contoh orang biasa dan orang kaya yang bersedekah dalam uraian di atas, maka maksud dari "setimpal" itu juga lebih terkait dengan hal-hal yang bersifat batiniah (jumlah pahala-Nya dan beban dosa).
Tiap manusia semestinya bersyukur atas segala pemberian Allah
baginya, apapun bentuknya (langsung ataupun tertunda, lahiriah-nyata ataupun batiniah-gaib),
karena Allah Maha mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, khususnya
bagi kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya).
Bahkan orang yang paling banyak bersyukur adalah, orang-orang
yang paling kaya secara batiniah di antara seluruh umat manusia, karena
mereka selalu merasa bercukupan, atas apapun yang telah diberikan-Nya
kepadanya.
|
Relatif jelas tampak
dari masing-masing uraian di atas, bahwa sikap-sikap sabar, ikhlas, tawakal dan
syukur justru amat saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya.
Semuanya juga bisa amat menolong atau membantu tiap manusia, dalam menjalani
kehidupan di dunia fana ini, terutama lagi dalam membangun kehidupan akhiratnya
(kehidupan batiniah ruhnya).